Pemandangan yang seringkali muncul saat terjadi insiden kriminal adalah kerumunan orang yang sibuk mengeluarkan ponsel, bukan untuk membantu, melainkan untuk merekam dan menonton. Fenomena ini memunculkan pertanyaan mendasar tentang psikologi manusia, peran teknologi, dan hilangnya rasa empati di era modern. Mengapa banyak orang lebih memilih menjadi penonton pasif dan merekam tragedi daripada memberikan pertolongan atau melaporkan kejadian tersebut?

Salah satu alasan utama adalah keingintahuan alami manusia terhadap hal-hal yang luar biasa dan menegangkan. Insiden kriminal menyajikan drama kehidupan nyata yang intens dan seringkali mengerikan, memicu rasa ingin tahu yang kuat untuk menyaksikan dan mengabadikannya. Dorongan ini diperkuat oleh masifnya budaya berbagi di media sosial, di mana rekaman insiden kriminal berpotensi mendapatkan perhatian dan interaksi yang besar.

Selain itu, adanya efek bystander juga berperan signifikan. Dalam kerumunan besar, tanggung jawab individu untuk bertindak cenderung menurun. Orang berasumsi bahwa pasti ada orang lain yang akan membantu atau sudah melaporkan kejadian tersebut. Akibatnya, setiap individu merasa kurang terdorong untuk mengambil inisiatif, dan memilih untuk menjadi bagian dari kerumunan penonton yang aman.

Perkembangan teknologi smartphone dan media sosial semakin memperkuat fenomena ini. Ponsel dengan kamera berkualitas tinggi memungkinkan siapa saja untuk menjadi “wartawan” dadakan, merekam dan menyebarkan informasi secara instan. Platform media sosial menyediakan wadah yang luas untuk berbagi rekaman insiden kriminal, seringkali tanpa mempertimbangkan dampak etis atau privasi korban.

Namun, di balik keinginan untuk merekam dan berbagi, terdapat ironi hilangnya empati. Fokus pada mendapatkan gambar atau video “eksklusif” seringkali mengalahkan naluri untuk menolong sesama yang sedang dalam kesulitan. Korban insiden kriminal yang seharusnya mendapatkan bantuan dan perlindungan justru menjadi objek tontonan dan rekaman. mendapatkan bantuan dan perlindungan justru menjadi objek tontonan dan rekaman.

Dari sudut pandang psikologis, tindakan merekam dan menonton bisa juga menjadi mekanisme koping terhadap rasa takut dan ketidakpastian. Dengan merekam, seseorang mungkin merasa memiliki kontrol atas situasi yang menakutkan. Namun, tindakan ini tidak membantu korban dan justru dapat memperburuk situasi, bahkan berpotensi membahayakan keselamatan korban maupun perekam.